Kabupaten
Kudus menyimpan cerita-cerita lokal yang tersohor akan atmosfir
islam-kejawennya. Hal itu merupakan rahasia umum mengingat orang-orang Jawa
pada zaman dahulu terutama sekitar pada abad ke-16, merupakan masa di mana ada
transisi antara kebudayaan lama (hinduisme dan animisme) dengan kebudayaan baru
(islam) di Semenanjung Muria. Pada saat itu, masyarakat kemungkinan berada
dalam situasi kekalutan dan ketidakpastian keyakinan akan kebudayaan lama atas
kebudayaan baru yang dibawa oleh para tokoh agama islam. Kedatangan Sunan
Kudus, Sunan Muria, dan lain-lain di tengah-tengah masyarakat peradaban Hindu
yang masih kental, cukup membuat banyak orang mengalami cultural shock, walaupun
banyak literatur yang menyebutkan bahwa proses pendekatan tokoh-tokoh tersebut
dalam menyebarkan dan membiasakan kebudayaan islam adalah dengan cara yang
sangat mempertimbangkan aspek sosiokulturalnya, misal penggunaan wayang untuk
berdakwah, melarang menyembelih sapi untuk ritual islam qurban, dan lain
sebagainya; atau dengan kata lain; melestarikan sikap arif kebudayaan lama.
Aspek
sosiokulural melulu tidak menyangkal fakta bahwa masyarakat yang tidak
tersentuh para tokoh islam secara langsung mengakibatkan kebudayaan baru hanya
bisa diterima permukaannya saja atau bahkan tidak sama sekali, karena
mempertimbangkan aspek geografis Semenanjung Muria, utamanya Kabupaten Kudus
yang bervariasi; bagian selatan berupa pesisir (selat Muria) dan bagian utara
adalah Pegunungan Muria.
Masyarakat
pesisir cenderung terbuka dengan kebudayaan baru karena pola pikir masyarakatnya
yang memang terbuka akibat dari geografis alamnya yang mendukung mobilitas yang
tinggi, sedangkan masyarakat pegunungan cenderung menutup diri karena (bisa
jadi) keadaan geografis alamnya yang sulit terakses, akibatnya mobilitas rendah.
Masyarakat yang menerima permukaannya akan lebih menjaga jati dirinya sebagai
pribumi Jawa, sehingga lebih melibatkan kepercayaan dari leluhur lebih dalam ke
kebudayaan baru. Akulturasi antara hindu-animisme Jawa dengan islam menurut
hemat saya akan menjadi bagian dari aliran kepercayaan kejawen.
Dengan adanya masyarakat yang tetap menjaga kepercayaan dengan leluhur mereka di kebudayaan lama, maka peristiwa-peristiwa yang menyangkut dengan adanya aktivitas/tindakan/kejadian yang menyangkut para tokoh penyebar agama (misalnya) maupun kehidupan sehari-hari rakyat biasa, hampir pasti disangkut-pautkan dengan kearifan-kearifan yang sudah lama dipercayai. Cerita rakyat tidak akan terlepas dari kekayaannya akan makna yang dalam bagi kehidupan sekaligus sarat nilai-nilai kebajikan untuk manusia dan alam. Penjelasan di atas adalah pengantar untuk menganalisa lebih lanjut cerita-cerita memoar berlatar sejarah sebagai ciri dari folklor lisan di Semenanjung Muria.
Siapa Raden
Bagus Rinangku dan Dewi Nawangsih?
Tidak
bisa dipungkiri bahwa Sunan Muria adalah tokoh agama islam yang paling
berpengaruh di Pegunungan Muria. Bukti-bukti sejarahnya sudah sangat jelas
bahwa Sunan Muria melakukan hal yang signifikan terhadap masyarakat Muria pada
abad ke-16. Salah satu bukti sejarah itu adalah Kompleks Makam Masin, di
Kecamatan Dawe. Tempat itu bersejarah karena secara faktual memang berupa makam
yang di dalamnya terkubur Raden Bagus Rinangku dan Raden Ayu Dewi Nawangsih,
yang dikubur bersama karena suatu hal. Adapun folklor lisan yang menyelimutinya
adalah “Legenda Makam Masin: Kisah Cinta Raden Bagus Rinangku dan Dewi Nawangsih,”
yang eksis dan lestari di mulut dan telinga masyarakat Dukuh Masin, Desa
Kandangmas, Kecamatan Dawe; karena kepopulerannya sebagai cerita yang
menyangkut Sunan Muria, maka folklor itu antar generasi menyebar melalui mulut
ke mulut di seluruh Semenanjung Muria.
Sebuah
kisah percintaan yang melegenda antara pangeran dari Mataram sekaligus Murid
Sunan Muria, Raden Bagus Rinangku yang pandai dan rupawan dengan Putri Sunan
Muria yang bernama Dewi Nawangsih yang wajahnya bersinar bagaikan bulan
purnama. Raden Bagus Rinangku adalah putra dari Sultan Agung Adi Prabu
Hanyakrakusuma (Sultan ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada periode
tahun 1613-1645), yang diperintahkan ayahnya untuk menimba ilmu dengan Sunan
Muria sebagai modal baginya sebagai putra mahkota (heir) Kesultanan
Mataram. Tetapi, ada hambatan yang menghalangi niat Raden Bagus Rinangku dalam
proses menuntut ilmu, yaitu percintaannya dengan Dewi Nawangsih, yang sangat
problematik.
Sebenarnya jika dirunut melalui sejarah yang faktual, cerita yang
selama ini saya ketahui dari penuturan orang-orang sama sekali tidak kontinu.
Bagaimana bisa Sunan Muria yang hidup di era awal Kesultanan Demak bisa
berinteraksi dengan anak dari Sultan Agung yang menjadi raja Mataram Islam?
Sementara garis waktu antara kedua era tersebut terpaut lebih dari seratus
tahun. Sehingga apa yang menjadi penuturan yang bersumber dari masyarakat Masin kemungkinan murni dari wisdom
setempat.
Krisis Nafsu
dan Ketidakloyalan
Dewi Nawangsih adalah anak gadis dari seorang tokoh yang sangat
terhormat di lingkungannya. Fakta yang eksis tersebut menyiratkan hal yang positif
maupun negatif dari lingkungan terhadapnya. Pertama, Dewi Nawangsih sedikit
banyak mendapatkan perlakuan yang istimewa/kehormatan dari masyarakat yang
Sunan Muria ayomi/umat islam pada umumnya dan harus menjaga framing tersebut,
tidak lain karena Dewi Nawangsih adalah anak dari Sunan Muria. Kedua, Dewi
Nawangsih mengemban tugas yang luar biasa sebagai contoh moral masyarakat untuk
peran perempuan dalam kolektif/feminisme, tentunya dia harus mempertahankan
tugas tersebut. Ketiga, jika Dewi Nawangsih melanggar hal-hal tersebut, maka
akan berdampak signifikan bukan hanya dirinya, tetapi bagi masyarakat dan Sunan
Muria utamanya.
Penggambaran Dewi Nawangsih sebagai
sesosok yang menjadi panutan dapat dipertahankan hingga satu kejadian di mana
dia dipergoki berbuat asusila dengan Raden Bagus Rinangku oleh murid-murid Sunan
Muria yang ditugasi untuk mencari keberadaan Dewi Nawangsih yang sebelumnya
pergi tanpa kabar dari rumah. Para murid Sunan Muria kaget karena menemukan
sawah padi telah habis di makan burung, lalu memergoki Raden Bagus Rinangku
sedang memadu kasih di dalam gubuk dengan Dewi Nawangsih. Kejadian memilukan
tersebut terjadi karena Dewi Nawangsih yang tidak kuat menahan rindu melakukan
hal nekat mengunjungi Raden Bagus Rinangku yang sedang menjalankan tugas jaga
sawah padi siap panen di Dusun Masin. Walaupun mereka adalah sepasang kekasih,
tetaplah tidak pantas bagi putra-putri para tokoh yang berpengaruh di
masyarakat berbuat yang tidak semestinya, sedangkan mereka memang bukan
suami-istri.
Latar belakang mengapa hal di atas
dapat terjadi adalah karena tugas yang diberikan Sunan Muria kepada Raden Bagus
Rinangku sebenarnya untuk memberi jarak dengan Dewi Nawangsih yang semakin hari
semakin dimabuk cinta. Namun, Sunan Muria khawatir jika mereka melakukan zina,
jadi tugas yang diberikan adalah dalih Sunan Muria untuk memutus cinta mereka;
dan yang terjadi adalah kekacauan. Dewi Nawangsih terlalu bernafsu kepada Raden
Bagus Rinangku dan Sunan Muria juga terlalu bernafsu untuk memecah belah
mereka, walaupun mungkin niat Sunan Muria baik, tetapi cara yang dilakukan
cenderung tidak memikirkan perasaan orang terkasih yang seharusnya Sunan Muria
ayomi. Begitu pula dengan Raden Bagus Rinangku, Ia tidak menunjukkan sikap
patuh yang seharusnya dijunjung tinggi kepada gurunya yang telah memberikannya
ilmu; yang dapat berarti hal itu ditunjang dengan nafsu kepada wanita yang
berlebihan.
Nafsu berkali-kali menjadi parit yang sangat dalam dan gelap,
sekali terperosok terlalu dalam maka sulit melihat ke atas, orang yang berniat
menolong dari ataspun akan terbawa panik dan malah tambah mencelakai karena
gegabah.
Musibah dan Berkah
Salah satu murid Sunan Muria yang
memergoki aksi kedua sejoli kemudian bergegas menuju kembali ke pondok
pesantren tempat Sunan Muria tinggal. Ia menyampaikan apa yang ia lihat ke
Sunan Muria, dan dapat ditebak reaksi Sunan Muria; murka dan dengan muridnya
langsung menuju kembali ke persawahan Masin dengan membawa senjata panah; yang
digunakan untuk berjaga-jaga.
Sesampainya di lokasi dan menyadari
bahwa perkataan muridnya benar, Sunan Muria yang marah langsung mengeluarkan
busur dan anak panah kemudian membidik kedua sejoli yang saling
tindih-menindih. Alhasil tertembuslah anak panah ke tubuh Raden Bagus Rinangku
dan Dewi Nawangsih. Mereka tewas dengan keadaan yang selama ini Sunan Muria
tidak harapkan terjadi kepada sesorang; mati dalam zina. Sunan Muria yang gelap
mata baru menyadari Dewi Nawangsih ikut terpanah saat mereka mengerang
kesakitan.
Diceritakan
bahwa Sunan Muria menghampiri kedua tubuh murid dan putrinya yang sudah tidak
bernyawa dengan meminta bantuan kepada murid-muridnya yang lain yang saat itu
ada di Masin untuk menolong. Tetapi, murid-murid tersebut tidak bereaksi apapun
dengan hanya berdiam diri di tempat. Sunan Muria kemudian mengumpamakan mereka
seperti pohon jati yang berdiri kaku bagai menancap ke tanah. Perkataan Sunan
Muria menjadi kutukan yang menyebabkan murid-murid Sunan Muria berubah menjadi
pohon jati sungguhan. Warga setempat membantu pemakaman kedua jenazah tersebut
dengan dikuburkan tepat di tanah bawah gubuk tempat mereka meninggal dunia.
Selama ratusan tahun, Makam Masin dikunjungi orang dari berbagai tempat dengan
berbagai tujuan, seringnya adalah untuk merituskan tempat tersebut.
Keberadaan pohon jati hingga sekarang dipercaya masyarakat sekitar
sebagai penjelmaan murid-murid Sunan Muria, sehingga pohon-pohon tersebut tidak
boleh ditebang dengan alasan apapun juga dan kerimbunan yang ada tidak boleh
disingkap. Hal itu mengakibatkan terjaganya ekosistem di sekitar Makam Masin
oleh masyarakat sekitar.
Ketidaknyanaan
Superioritas Moral
Kembali
ke Sunan Muria yang memanah Raden Bagus Rinangku dan Dewi Nawangsih,
sesungguhnya adalah peristiwa yang tidak perlu terjadi kepada kedua sejoli
tersebut. Karena bagaimanapun juga Raden bagus Rinangku adalah murid paling
pintar dan Dewi Nawangsih adalah putri kandungnya sendiri. Walaupun apa yang
dilakukan kedua sejoli tersebut adalah zina, tetapi permasalahan yang lebih
penting adalah tentang superioritas moral yang sangat kentara pada sosok Sunan
Muria, yang akan menimbulkan masalah jika cerita ini sampai ke telinga orang yang
mudah terprovokasi.
Sunan
Muria menempatkan diri sebagai seorang yang paling benar dan berkuasa secara
moral dan spiritualnya di lingkungannya, lalu hal itu yang menyebabkan adanya
ketimpangan yang serius antara guru dan murid serta ayah dan anak. Dalam kehidupan
modern, superioritas yang ditunggangi dalih kebenaranlah yang akan menjadi
sangat manipulatif; dengan menempatkan diri sebagai sesuatu yang sangat baik
secara moral, dengan begitu tindak laku yang mungkin diniatkan untuk hal baik
sekalipun, maka hal itu akan menjadi bias dengan emosi belaka yang notabene
bisa sangat negatif. Raden Bagus Rinangku dan Dewi Nawangsih adalah korban dari
superioritas moral Sunan Muria jika berdasarkan cerita di atas.
Dan....
Folklor
berjenis legenda yang bercerita tentang kisah seperti ini merupakan harta
kebudayaan bagi masyarakat yang harus tetap dilestarikan sampai kapanpun.
Nilai-nilai pembelajaran moral yang dapat diambil memang luar biasa bermanfaat
dan boleh jadi sangat menginspirasi untuk menjadi dasar plot bagi perkembangan
cerita modern saat ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Hurmain. 1991. Aliran
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Mistikisme dalam Islam.
Semarang: Bumi Pustaka.
Tappin, McKay.
2017. “The Illusion of Moral Superiority”. Social Psychological and
Personality Science. Vol. 8(6) 623-631.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar