Sabtu, 13 Maret 2021

Legenda Makam Masin: Kisah Cinta Petaka Raden Bagus Rinangku dan Dewi Nawangsih

 

       Gapura menuju bangunan makam (Sumber: budayajawa.id)

Kabupaten Kudus menyimpan cerita-cerita lokal yang tersohor akan atmosfir islam-kejawennya. Hal itu merupakan rahasia umum mengingat orang-orang Jawa pada zaman dahulu terutama sekitar pada abad ke-16, merupakan masa di mana ada transisi antara kebudayaan lama (hinduisme dan animisme) dengan kebudayaan baru (islam) di Semenanjung Muria. Pada saat itu, masyarakat kemungkinan berada dalam situasi kekalutan dan ketidakpastian keyakinan akan kebudayaan lama atas kebudayaan baru yang dibawa oleh para tokoh agama islam. Kedatangan Sunan Kudus, Sunan Muria, dan lain-lain di tengah-tengah masyarakat peradaban Hindu yang masih kental, cukup membuat banyak orang mengalami cultural shock, walaupun banyak literatur yang menyebutkan bahwa proses pendekatan tokoh-tokoh tersebut dalam menyebarkan dan membiasakan kebudayaan islam adalah dengan cara yang sangat mempertimbangkan aspek sosiokulturalnya, misal penggunaan wayang untuk berdakwah, melarang menyembelih sapi untuk ritual islam qurban, dan lain sebagainya; atau dengan kata lain; melestarikan sikap arif kebudayaan lama.

Aspek sosiokulural melulu tidak menyangkal fakta bahwa masyarakat yang tidak tersentuh para tokoh islam secara langsung mengakibatkan kebudayaan baru hanya bisa diterima permukaannya saja atau bahkan tidak sama sekali, karena mempertimbangkan aspek geografis Semenanjung Muria, utamanya Kabupaten Kudus yang bervariasi; bagian selatan berupa pesisir (selat Muria) dan bagian utara adalah Pegunungan Muria.

Masyarakat pesisir cenderung terbuka dengan kebudayaan baru karena pola pikir masyarakatnya yang memang terbuka akibat dari geografis alamnya yang mendukung mobilitas yang tinggi, sedangkan masyarakat pegunungan cenderung menutup diri karena (bisa jadi) keadaan geografis alamnya yang sulit terakses, akibatnya mobilitas rendah. Masyarakat yang menerima permukaannya akan lebih menjaga jati dirinya sebagai pribumi Jawa, sehingga lebih melibatkan kepercayaan dari leluhur lebih dalam ke kebudayaan baru. Akulturasi antara hindu-animisme Jawa dengan islam menurut hemat saya akan menjadi bagian dari aliran kepercayaan kejawen.

Dengan adanya masyarakat yang tetap menjaga kepercayaan dengan leluhur mereka di kebudayaan lama, maka peristiwa-peristiwa yang menyangkut dengan adanya aktivitas/tindakan/kejadian yang menyangkut para tokoh penyebar agama (misalnya) maupun kehidupan sehari-hari rakyat biasa, hampir pasti disangkut-pautkan dengan kearifan-kearifan yang sudah lama dipercayai. Cerita rakyat tidak akan terlepas dari kekayaannya akan makna yang dalam bagi kehidupan sekaligus sarat nilai-nilai kebajikan untuk manusia dan alam. Penjelasan di atas adalah pengantar untuk menganalisa lebih lanjut cerita-cerita memoar berlatar sejarah sebagai ciri dari folklor lisan di Semenanjung Muria. 

Siapa Raden Bagus Rinangku dan Dewi Nawangsih?

Tidak bisa dipungkiri bahwa Sunan Muria adalah tokoh agama islam yang paling berpengaruh di Pegunungan Muria. Bukti-bukti sejarahnya sudah sangat jelas bahwa Sunan Muria melakukan hal yang signifikan terhadap masyarakat Muria pada abad ke-16. Salah satu bukti sejarah itu adalah Kompleks Makam Masin, di Kecamatan Dawe. Tempat itu bersejarah karena secara faktual memang berupa makam yang di dalamnya terkubur Raden Bagus Rinangku dan Raden Ayu Dewi Nawangsih, yang dikubur bersama karena suatu hal. Adapun folklor lisan yang menyelimutinya adalah “Legenda Makam Masin: Kisah Cinta Raden Bagus Rinangku dan Dewi Nawangsih,” yang eksis dan lestari di mulut dan telinga masyarakat Dukuh Masin, Desa Kandangmas, Kecamatan Dawe; karena kepopulerannya sebagai cerita yang menyangkut Sunan Muria, maka folklor itu antar generasi menyebar melalui mulut ke mulut di seluruh Semenanjung Muria.

Sebuah kisah percintaan yang melegenda antara pangeran dari Mataram sekaligus Murid Sunan Muria, Raden Bagus Rinangku yang pandai dan rupawan dengan Putri Sunan Muria yang bernama Dewi Nawangsih yang wajahnya bersinar bagaikan bulan purnama. Raden Bagus Rinangku adalah putra dari Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Sultan ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada periode tahun 1613-1645), yang diperintahkan ayahnya untuk menimba ilmu dengan Sunan Muria sebagai modal baginya sebagai putra mahkota (heir) Kesultanan Mataram. Tetapi, ada hambatan yang menghalangi niat Raden Bagus Rinangku dalam proses menuntut ilmu, yaitu percintaannya dengan Dewi Nawangsih, yang sangat problematik.

Sebenarnya jika dirunut melalui sejarah yang faktual, cerita yang selama ini saya ketahui dari penuturan orang-orang sama sekali tidak kontinu. Bagaimana bisa Sunan Muria yang hidup di era awal Kesultanan Demak bisa berinteraksi dengan anak dari Sultan Agung yang menjadi raja Mataram Islam? Sementara garis waktu antara kedua era tersebut terpaut lebih dari seratus tahun. Sehingga apa yang menjadi penuturan yang bersumber dari  masyarakat Masin kemungkinan murni dari wisdom setempat.

Krisis Nafsu dan Ketidakloyalan

            Dewi Nawangsih adalah anak gadis dari seorang tokoh yang sangat terhormat di lingkungannya. Fakta yang eksis tersebut menyiratkan hal yang positif maupun negatif dari lingkungan terhadapnya. Pertama, Dewi Nawangsih sedikit banyak mendapatkan perlakuan yang istimewa/kehormatan dari masyarakat yang Sunan Muria ayomi/umat islam pada umumnya dan harus menjaga framing tersebut, tidak lain karena Dewi Nawangsih adalah anak dari Sunan Muria. Kedua, Dewi Nawangsih mengemban tugas yang luar biasa sebagai contoh moral masyarakat untuk peran perempuan dalam kolektif/feminisme, tentunya dia harus mempertahankan tugas tersebut. Ketiga, jika Dewi Nawangsih melanggar hal-hal tersebut, maka akan berdampak signifikan bukan hanya dirinya, tetapi bagi masyarakat dan Sunan Muria utamanya.

            Penggambaran Dewi Nawangsih sebagai sesosok yang menjadi panutan dapat dipertahankan hingga satu kejadian di mana dia dipergoki berbuat asusila dengan Raden Bagus Rinangku oleh murid-murid Sunan Muria yang ditugasi untuk mencari keberadaan Dewi Nawangsih yang sebelumnya pergi tanpa kabar dari rumah. Para murid Sunan Muria kaget karena menemukan sawah padi telah habis di makan burung, lalu memergoki Raden Bagus Rinangku sedang memadu kasih di dalam gubuk dengan Dewi Nawangsih. Kejadian memilukan tersebut terjadi karena Dewi Nawangsih yang tidak kuat menahan rindu melakukan hal nekat mengunjungi Raden Bagus Rinangku yang sedang menjalankan tugas jaga sawah padi siap panen di Dusun Masin. Walaupun mereka adalah sepasang kekasih, tetaplah tidak pantas bagi putra-putri para tokoh yang berpengaruh di masyarakat berbuat yang tidak semestinya, sedangkan mereka memang bukan suami-istri.

            Latar belakang mengapa hal di atas dapat terjadi adalah karena tugas yang diberikan Sunan Muria kepada Raden Bagus Rinangku sebenarnya untuk memberi jarak dengan Dewi Nawangsih yang semakin hari semakin dimabuk cinta. Namun, Sunan Muria khawatir jika mereka melakukan zina, jadi tugas yang diberikan adalah dalih Sunan Muria untuk memutus cinta mereka; dan yang terjadi adalah kekacauan. Dewi Nawangsih terlalu bernafsu kepada Raden Bagus Rinangku dan Sunan Muria juga terlalu bernafsu untuk memecah belah mereka, walaupun mungkin niat Sunan Muria baik, tetapi cara yang dilakukan cenderung tidak memikirkan perasaan orang terkasih yang seharusnya Sunan Muria ayomi. Begitu pula dengan Raden Bagus Rinangku, Ia tidak menunjukkan sikap patuh yang seharusnya dijunjung tinggi kepada gurunya yang telah memberikannya ilmu; yang dapat berarti hal itu ditunjang dengan nafsu kepada wanita yang berlebihan.

Nafsu berkali-kali menjadi parit yang sangat dalam dan gelap, sekali terperosok terlalu dalam maka sulit melihat ke atas, orang yang berniat menolong dari ataspun akan terbawa panik dan malah tambah mencelakai karena gegabah.

Musibah dan Berkah

            Salah satu murid Sunan Muria yang memergoki aksi kedua sejoli kemudian bergegas menuju kembali ke pondok pesantren tempat Sunan Muria tinggal. Ia menyampaikan apa yang ia lihat ke Sunan Muria, dan dapat ditebak reaksi Sunan Muria; murka dan dengan muridnya langsung menuju kembali ke persawahan Masin dengan membawa senjata panah; yang digunakan untuk berjaga-jaga.

            Sesampainya di lokasi dan menyadari bahwa perkataan muridnya benar, Sunan Muria yang marah langsung mengeluarkan busur dan anak panah kemudian membidik kedua sejoli yang saling tindih-menindih. Alhasil tertembuslah anak panah ke tubuh Raden Bagus Rinangku dan Dewi Nawangsih. Mereka tewas dengan keadaan yang selama ini Sunan Muria tidak harapkan terjadi kepada sesorang; mati dalam zina. Sunan Muria yang gelap mata baru menyadari Dewi Nawangsih ikut terpanah saat mereka mengerang kesakitan.

Diceritakan bahwa Sunan Muria menghampiri kedua tubuh murid dan putrinya yang sudah tidak bernyawa dengan meminta bantuan kepada murid-muridnya yang lain yang saat itu ada di Masin untuk menolong. Tetapi, murid-murid tersebut tidak bereaksi apapun dengan hanya berdiam diri di tempat. Sunan Muria kemudian mengumpamakan mereka seperti pohon jati yang berdiri kaku bagai menancap ke tanah. Perkataan Sunan Muria menjadi kutukan yang menyebabkan murid-murid Sunan Muria berubah menjadi pohon jati sungguhan. Warga setempat membantu pemakaman kedua jenazah tersebut dengan dikuburkan tepat di tanah bawah gubuk tempat mereka meninggal dunia. Selama ratusan tahun, Makam Masin dikunjungi orang dari berbagai tempat dengan berbagai tujuan, seringnya adalah untuk merituskan tempat tersebut.

Keberadaan pohon jati hingga sekarang dipercaya masyarakat sekitar sebagai penjelmaan murid-murid Sunan Muria, sehingga pohon-pohon tersebut tidak boleh ditebang dengan alasan apapun juga dan kerimbunan yang ada tidak boleh disingkap. Hal itu mengakibatkan terjaganya ekosistem di sekitar Makam Masin oleh masyarakat sekitar.

Ketidaknyanaan Superioritas Moral

Kembali ke Sunan Muria yang memanah Raden Bagus Rinangku dan Dewi Nawangsih, sesungguhnya adalah peristiwa yang tidak perlu terjadi kepada kedua sejoli tersebut. Karena bagaimanapun juga Raden bagus Rinangku adalah murid paling pintar dan Dewi Nawangsih adalah putri kandungnya sendiri. Walaupun apa yang dilakukan kedua sejoli tersebut adalah zina, tetapi permasalahan yang lebih penting adalah tentang superioritas moral yang sangat kentara pada sosok Sunan Muria, yang akan menimbulkan masalah jika cerita ini sampai ke telinga orang yang mudah terprovokasi.

Sunan Muria menempatkan diri sebagai seorang yang paling benar dan berkuasa secara moral dan spiritualnya di lingkungannya, lalu hal itu yang menyebabkan adanya ketimpangan yang serius antara guru dan murid serta ayah dan anak. Dalam kehidupan modern, superioritas yang ditunggangi dalih kebenaranlah yang akan menjadi sangat manipulatif; dengan menempatkan diri sebagai sesuatu yang sangat baik secara moral, dengan begitu tindak laku yang mungkin diniatkan untuk hal baik sekalipun, maka hal itu akan menjadi bias dengan emosi belaka yang notabene bisa sangat negatif. Raden Bagus Rinangku dan Dewi Nawangsih adalah korban dari superioritas moral Sunan Muria jika berdasarkan cerita di atas.

 

Dan....

Folklor berjenis legenda yang bercerita tentang kisah seperti ini merupakan harta kebudayaan bagi masyarakat yang harus tetap dilestarikan sampai kapanpun. Nilai-nilai pembelajaran moral yang dapat diambil memang luar biasa bermanfaat dan boleh jadi sangat menginspirasi untuk menjadi dasar plot bagi perkembangan cerita modern saat ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hurmain. 1991. Aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Mistikisme dalam Islam. Semarang: Bumi Pustaka.

Tappin, McKay. 2017. “The Illusion of Moral Superiority”. Social Psychological and Personality Science. Vol. 8(6) 623-631.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gudang Amunisi itu Telah Kembali Terisi dengan Sendirinya

Antoni! Antoni! Antoni! Fuck you Antoni sialan! Makan sini! Kembali sini! Jangan lari! Di ujung langit kau ingin jalan ke mana? Jalan-jalan ...