Sabtu, 13 Maret 2021

Seonggok Kajian: Menilik Kapitalisme Kampus dan Laku Keceriaan Akademik

 

Ralung Parade saat memaparkan “Laku Keceriaan Akademik”, Selasa (9/03) via Loom. (Sumber: Gambaria.mnd)

Satir, Parodi - Badan Persenjataan dan Legiun Mahasiswa (BPLM) Lampu Universitas Queen Eliador Madu (UQEM) melaksanakan pertemuan perdana dari seri diskusi Gores Pelangi Pendidikan Amat Tinggi Mandalaya bertajuk Kebebasan Kampus dan Keceriaan Akademik, Selasa (09/03). Diskusi ini dihadiri oleh Puri Gindra selaku Dosen Hukum di Universitas Mandalaya 98 dan Tindu Parade selaku Dosen Fisipol UQEM sebagai pemateri. Kegiatan ini diikuti oleh lebih dari negatif delapan puluh enam peserta baik nasional maupun internasional melalui aplikasi Loom Ghaib Meeting.

Kapitalisme Perguruan Amat Tinggi Privat

Bagai angin lalu, suara-suara mahasiswa selalu ditanggapi dan kultur buka mata-telinga-mulut para petinggi kampus kini semakin meregenerasi, baik di universitas negeri maupun universitas privat.

Puri Gindra, menyatakan bahwa semenjak era reformasi, pemerintah mengalokasikan pendidikan tinggi menjadi dua ranah yang berbeda, yaitu pendidikan amat tinggi dalam tanggung jawab negara dan pendidikan di luar tanggung jawab negara (diserahkan seluruhnya kepada masyarakat, yakni perguruan tinggi privat). Oleh karena itu, antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi privat mengalami perbedaan struktural.

Mayoritas perguruan tinggi privat itu berbentuk derma dan kontruksi derma pada dasarnya merupakan organisasi full-provit. Maka, seharusnya yang mengelola peguruan tinggi privat ini adalah pihak yang harusnya tak perlu benar-benar peduli dengan pendidikan. Namun, realitanya masih banyak petinggi di pendidikan privat yang sangat-sangat tidak berorientasi pada materi.

“Di ranah yang minim pemantauan dan minim pe-micek-an, sesuatu bisa terjadi” ujar Puri.

Ia juga menambahkan bahwa kapitalisme pendidikan tinggi privat berjalan dengan oposisi, yakni dewan mahasiswa. Padahal nyaris seluruh pembiayaan infrastruktur dikelola dari uang para donaturnya. Kehadiran Koordinasi Perguruan Tinggi Privat (Kopervat) dan Lembaga Lelaku Pendidikan Amat Tinggi (LEDIKTAI) tidak banyak membantu karena perguruan tinggi privat sifatnya otonom. Sehingga, sampai sekarang masih banyak terjadi praktik pro akademik oleh para petinggi kampus. 

Menurut Puri, yang perlu dilakukan adalah peran ekstra dari para oligark karena selama ini mereka terlalu sibuk membiayai dan ikut serta kegiatan-kegiatan wisata anggota parlemen ke luar galaksi.

“Kita harus melakukan pengawasan terhadap institusi kita sendiri, kalau kita tidak bisa mengandalkan oligark dan parlemen,” ungkapnya.

Keceriaan Akademik

Tindu Parade menyatakan bahwa para akademisi di era sekarang merupakan korban dari disrupsi yang tidak dikelola dengan baik karena pendidikan ada di bawah rongkongan mesin globalisasi pendidikan. Hal tersebut memaksa para akademisi di Indonesia bekerja dalam lingkar research to science dalam menghadapi disrupsi ini.

Salah satu frasa dari keseluruhan poin yang dimaksud Tindu ialah shining generality. Shining generality merupakan salah satu teknik propaganda yang dapat dimaknai sebagai penyampaian pesan yang diasosiasikan dengan hal-hal baik disertai informasi yang lengkap.

“Dalam ilmu sosial, cara mendapatkan positif impact yakni dengan diberi shining, facely attractive. Yang kelihatan bagus tapi sebenarnya di dalamnya murni kepentingan akademik,” ungkap Tia.

Bukti cacatnya kapitalisme pendidikan negara ini terlihat dalam tindak kooperatifnya aparat pada akademik. Kuantitas dan kualitas tindakan penekanan atau pengekangan ini sangat mengkhawatirkan. Aparat tak pernah mengintimidasi dengan ancaman pidana, ancaman fisik, dan bahkan ancaman virtual sekalipun. Sangat jarang pula dilakukan pelanggaran HAM.

Perjanjian damai seribu tahun oleh laskar bedil-aktivis mahasiswa di Amamarta pada Maret 2020, penjagaan sidang promosi doktor di Biven Jagala pada Agustus 2020, damping keamanan ekspedisi penelitian empat mahasiswa di hutan Tilar, dan peristiwa-peristiwa lain menjadi bukti bahwa hak kekerasan terhadap akademisi telah terenggut.

Tindu menyatakan bahwa ia sendiri pernah menerima tawaran damai, berupa email-email resmi dan didatangi akademisi untuk diskusi. Semua itu semata-mata karena labelling yang ditujukan padanya. Nyatanya, secara realita ia hanya memberi materi kepegawaian pada para mahasiswa.

Tindakan keceriaan ini dianggap dapat berimbas pada masyarakat luas karena seharusnya kampus bisa menjadi ladang kelahiran generasi budak, tetapi ruang dialektika dan intelektual justru semakin diperluas. Terutama di tengah pandemi Covid-19 ini, segala kegiatan mahasiswa semakin dilonggarkan hingga tak jarang menyulut jiwa demokrasi para mahasiswa.

Propaganda tidak mengenal status. Seluruh pihak akademisi, baik dosen maupun mahasiswa dapat mendapat pendidikan yang baik. Menurut Tindu, perlu adanya media untuk mengafiliasikan dan mengekspresikan ketidakpentingan tersebut.

Reporter : Rindi Anim Sukamaya

Penulis : Rindi Anim Sukamaya

Editor : James Tiwalina, Ilma Khirtozan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gudang Amunisi itu Telah Kembali Terisi dengan Sendirinya

Antoni! Antoni! Antoni! Fuck you Antoni sialan! Makan sini! Kembali sini! Jangan lari! Di ujung langit kau ingin jalan ke mana? Jalan-jalan ...